Hansi Berjudul "Jeju" Karya Pangeran Gwanghae
Cha Seung Won sebagai Pangeran Gwanghae di drama Hwajung (sumber: http://www.kdramastars.com/articles/79653/20150327/cha-seung-won-wants-to-portray-a-thoughtful-prince-gwanghae.htm) |
Pangeran Gwanghae (1575-1641) adalah raja kelima belas Joseon. Ia menjadi raja pada tahun 1608 hingga 1623. Ia menjadi putra mahkota setelah maju melawan invasi Jepang ke Korea (임진왜란) pada tahun 1592-1598 (informasi singkat: https://id.wikipedia.org/wiki/Invasi_Jepang_ke_Korea_(1592-1598)). Ia menjadi populer di antara masyarakat Joseon setelah menduduki posisi putra mahkota karena ia berusaha keras untuk menyudahi krisis kerajaan dengan menambah kekuatan militer Joseon, Ia menjadi seorang raja setelah perang selesai. Di dalam istana, ia memperbaiki hukum-hukum sebelumnya yang cacat. Di luar istana, ia memperbaiki hubungan asing dengan pihak Tiongkok dan Jepang. Setelah kudeta yang menjadikan Injo sebagai raja baru, ia diasingkan ke Pulau Ganghwa dan kemudian ke Pulau Jeju. Di Pulau Jejulah ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ia banyak digambarkan di drama dan film modern. Seo In Guk di drama The King's Face dan Cha Seung Won di drama Hwajung merupakan beberapa penggambaran karakter Pangeran Gwanghae di dalam saeguk (drama sejarah).
濟州
風吹飛雨過珹頭
瘴氣薰陰百尺樓
滄海怒濤來薄幕
碧山愁色帶淸秋
歸心厭見王孫草
客夢頻驚帝子洲
故國存亡消息斷
烟波江上臥孤舟
제주에서
몰아치는 비바람 속에 성 앞을 지나니
후덥지근한 장독 기운이 백 척 누각에 자욱하구나.
푸른 바다의 성난 파도 어스름 저녁에 들이치고
푸른 산의 슬픈 빛은 가을 기운을 띠고 있네.
돌아가고픈 마음에 봄풀을 실컷 보았고
나그네 꿈은 제주에서 자주 깨었네.
고국의 존망은 소식조차 끊어지고
안개 낀 강의 외로운 배에 누워 있네.
Hansi adalah satu genre puisi klasik Korea yang memiliki 4 atau 8 baris dengan 7 kata pada setiap barisnya. Hansi dituliskan seluruhnya dengan menggunakan hanja (karakter mandarin tradisional). Pada hansi yang memiliki 8 baris, baris pertama dan keduanya adalah pembuka, baris ketiga hingga keenam adalah isi, serta baris ketujuh dan kedelapan adalah penutup. Namun, pada saat ini, banyak hansi yang sudah diterjemahkan ke dalam bentuk hangeul. Salah satunya adalah puisi berjudul "Jeju" yang dikarang oleh Pangeran Gwanghae. Puisi ini belum ada terjemahan bahasa Inggrisnya. Saya akan menerjemahkannya ke dalam bentuk terjemahan lepas dalam pembahasan berikut yang juga diambil dari buku <한국한시감상> yang dikarang oleh dosen-dosen sastra klasik di berbagai universitas di Korea, salah satunya adalah Prof. Ahn Younghoon, dosen sastra klasik Kyung Hee University.
Setelah Pangeran Gwanghae diturunkan dari tahta dan diganti oleh Raja Injo, ia masih hidup dalam pengasingan selama 18 tahun. Ia lebih lama hidup dalam pengasingan dibandingkan hidup sebagai seorang raja. Ia pun mengalami banyak kesulitan hidup setelah dibuang ke pengasingan. Anaknya, yang dahulu adalah seorang putra mahkota, wafat setelah meminum racun dan istrinya bunuh diri setelahnya. Dua tahun setelah pergi ke pengasingan, istri Pangeran Gwanghae, yaitu Ratu Yoo, pun wafat. Setelah berpindah-pindah tempat pengasingan selama beberapa kali, akhirnya Pangeran Gwanghae menghembuskan nafas terakhirnya pada umur 66 tahun.
Pangeran Gwanghae menuliskan puisi berjudul "Jeju" pada masa pengasingannya di Pulau Jeju. Ia mengekspresikan kerinduannya untuk mengetahui keadaan yang ada di luar Pulau Jeju dalam puisi ini. Baris pertama dan kedua jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 'kemarahan yang ada di dalam angin hujan di luar benteng sana, rupanya hanya lewat begitu saja karena tebalnya tembok benteng yang tak dapat ditembus oleh udara yang lembab'. Baris ini adalah pembuka dari puisi "Jeju" yang menggambarkan kemarahan Gwanghae yang ada di Jeju.
Baris ketiga dan keempat jika diterjemahkan menjadi 'kemarahan gelombang laut biru datang di kala senja, cahaya kesedihan dari gunung biru mengirimkan udara musim gugur'. Hal ini menggambarkan hari Gwanghae yang sedih dan marah di pengasingannya di Pulau Jeju. Baris kelima dan keenam jika diterjemahkan menjadi 'aku melihat rerumputan musim semi di hati yang ingin kembali, rupanya seorang pengembara sering terbangun dari mimpinya di Jeju'. Gwanghae menggambarkan tahtanya yang direbut sehingga membuat dia seakan menjadi pengembara yang tak ada tujuan. Bagian isi ini menggambarkan kesedihan yang dialami Gwanghae,
Bagian penutup dapat diterjemahkan sebagai 'tak ada kabar apakah negaraku masih ada atau tidak, bagaikan diriku yang berbaring di dalam kesepian di kapal yang tertutupi kabut sungai'. Baris ini sangat menggambarkan kesepian dan kesedihan yang dialami oleh Gwanghae dalam pengasingannya. Bahkan di dalam analek Injo (인조실록), disebutkan bahwa para cendekiawan menangis pada saat membaca puisi ini.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete