Dongeng Penebang Kayu dan Bidadari (Bagian 4)


Dongeng “Penebang Kayu dan Bidadari” secara umum adalah kisah mengenai seorang pria miskin dan seorang wanita dengan kasta yang tinggi, akan tetapi ada makna lain yang terkandung di dalam cerita ini jika kita melihat larangan-larangan yang muncul di dalam ceritanya. Dalam dongeng tersebut dengan variasi sang penebang layu yang kembali ke bumi, cerita kehancuran tersebur muncul dua kali. Larangan -> kehancuran karena melanggar larangan -> kehancuran total.

Larangan pertama berasal dari sang rusa yang menyuruh sang penebang kayu untuk tidak mengembalikan selendang kepada sang bidadari sebelum sang bidadari tersebut melahirkan tiga orang anak. Syarat tersbeut adalah syarat agar sang bidadari yang tinggal di kahyangan bisa hidup bahagia di bumi. Prof. Noh Je-woon menggambarkan sang bidadari sebagai wanita telanjang yang keluar dari air. Sang bidadari yang melepaskan selendangnya menggambarkan sang bidadari yang melepaskan identitasnya sebagai entitas kahyangan. Selendang tersebut adalah barang suci yang membuat sang bidadari bisa hidup sebagai seorang bidadari. Selendang yang hilang dan bidadari yang melupakan selendangnya membuat sang bidadari menjadi seorang wanita biasa dan obyek seksual semata. Walaupun sang penebang kayu tidak mengembalikan selendang sang bidadari, sebetulnya sang bidadari dan sang penebang kayu bisa hidup dengan bahagia di bumi. Akan tetapi, karena penebang kayu tang tidak bisa mengakui istrinya, ia tidak bisa menjaga janjinya dengan baik. Oleh karena itu, sang bidadari bisa memakai selendangnya lagi dan pergi ke negerinya sendiri. Sang penebang kayu yang bertemu kembali dengan sang rusa, mengetahui adanya alat timba yang bisa menghubungkan kahyangan dengan bumi sehingga ia menaiki alat timba itu untuk bertemu kembali dengan sang bidadari.

Larangan kedua adalah larangan yang dikatakan oleh sang bidadari kepada sang penebang kayu, yaitu “jangan turun dari kudamu” atau “jangan menginjak bumi.” Ini adalah syarat bagi sang penebang kayu untuk bisa menjadi bagian dari entitas kahyangan dan hidup di kahyangan. Sang penebang kayu yang menerima bubur dari ibunya yang sudah tua, akhirnya melanggar larangan sang bidadari. Akhirnya sang penebang kayu menjadi bagian dari bumi kembali. Sang penebang kayu memang berubah menjadi ayam jantan, tetapi ayam jantan tidak bisa terbang ke langit. Ayam jantan yang hanya bisa berkokok dan tidak bisa terbang ke langit melambangkan manusia sebagai makhluk yang terbatas namun menginginkan dunia yang abadi.

Larangan atau tabu adalah peraturan yang diberikan oleh dewa atau dewi kepada manusia. Jika seorang manusia bisa mematuhi peraturan ini, maka manusia bisa hidup di dunia dewa dewi. Manusia yang tidak bisa mengikuti peraturan ini akan dibuang dari dunia dewa dewi. Dalam mitologi, penghancuran manusia karena larangan yang dilanggar dianggap sebagai tragedi dan kutukan, tapi di sisi lain, hal itu merupakan sejarah baru bagi manusia. Sang penebang kayu yang memberikan selendang kepada istrinya karena mencintai istrinya dan memakan bubur labu panas karena mencintai ibunya adalah sikap yang sangat manusiawi. Hal ini membuat sang penebang kayu menjadi berbeda dengan entitas kahyangan. Ia mendapatkan hukuman dari dewa dewi karena melanggar larangan, namun ia mempunyai langkah baru di bumi. Sang penebang kayu adalah sebuah tokoh yang ingin hidup di dunia dewa dewi, akan tetapi menunjukkan tokoh manusia yang harus tinggal di bumi karena sifatnya yang sangat manusiawi.

Sumber: Kuliah Prof. Kwon Hyuk-rae dari Yongin University mengenai Cerita Rakyat Korea

Comments

Popular posts from this blog

Sastra Korea UI? Hmmm......

인도네시아 민요 소개

Call for Applications: 2022-2023 LG Global School